Selasa, 02 Juli 2013

Nasehat


Sabar iku ingaran mustikaning laku
Artinya:

Bertingkah laku dengan mengedepankan kesabaran itu ibaratkan sebuah hal yg sangat indah dalam sebuah kehidupan



Sabar iku lire momot kuwat nandhang sakehing coba lan pandhadharaning ngaurip
Artinya:

Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup, yg tentunya nanti bisa untuk mendewasakan diri kita masing-masing

Sasindiran

Cangkang cau di pulungan
Cangkang leupeut di piceunan
Ari hulu di tiungan
Ari …….. di bikeunan
nendeun siwur luhur sumur
nuna batok waah gula
rejeung batur kudu akur
ulah osok parasea…
bangbara dina bangbarung kulit munding ka hujanan…..
sangsara d jero padum gulang guling ngan sorangan,,,
kapinis di adu layung macokan kembang kalapa …
nugelis tara di tiung duruken sene narakaaaa,,,,,,,
te boga suluh te boga beas
pamajikan ngajak d gawe
sok hayang ka kadipaten
meli bandeng salawean
sok hayang jd panganten
ngarah mineng ganti pakean
salawe dua lima
sate kodok d colok-colok
awewe jaman ayena
make anderok pa pondok-pondok
ka Bandung kuring ka bandung
sukajadi keur marema
kaduhung kuring kaduhung
heunte jadi ka manehna
diputer-puter paseukna
ari pek beunang talina
diincer-incer lanceukna
ari pek meunang adina
hahaha….lumayan we eta mah

Pantun Bogor

Rincik rincang rincik rincang
aya roda na tanjakan
sidik pisan sidik pisan
nyai teh bogoh ka akang
Kembang cula kembang tanjung
kembang sagala domdoman
rek sabulan rek sataun
moal weleh diantosan
belah duren d mlam hari
blah nangka d siang hari
babeh kren bnyak yg nyari
pas ketemuan pd lari….
lamun maneh BOGA keris
sok paehan lak hiu
lamun maneh bisa basa inggris
sok naon artina LOVE U
jalan-jalan ka kota bogor
tong poho meli batagor
aya naon di jero kolor
hiji pestol dua pelor

Senin, 17 Juni 2013

HO NO CO RO KO dibagi 4.



HO-NO-CO-RO-KO . Artinya : Ada utusan, Ono utusan.

DHO-TO-SO-WO-LO. Artinya : Sesama utusan mempertahankan perintah.

PO-DO-JO-YO-NYO. Artinya ; Keduanya sama-sama dikdaya(sama-sama sakti).

MO-GO-BO- THO-NGO. Artinya : Keduanya menjadi bangkai(mati sampyuh,mati bersama). 
Kesimpulanya : Doro dan Sembodro yang mendapatkan perintah atau mandat dari sang Guru yaitu Aji Soko, dalam hal ini, Doro diperintahkan oleh Aji Soko agar tidak memberikan keris saru tomo kepada siapaun kecuali Aji Soko sendiri sebagai pemiliknya. Sedangkan Sembodo sebagai murit ke dua dari Aji Soko mendapatkan perintah dari Ajisoko   agar mengambil keris Sarutomo dari Doro, keduanya adalah murit yang taat terhadap perintah guru, sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan keduanya tewas,atau disebut menjadibangkai, Dalam hal ini keduanya mati dalam keadaan mempertahankan kebenaran.

Selanjutnya ada kemiripan terhadap kisah mbah Marijan sebagai abdi kraton yokyakarta yang mana mendapatkan perintah agar menjaga Gunung merapi, ketika itu gunung merapi sedang aktif, hari demi hari mengeluarkan larfa, polkanik, disertai awan panas sehingga dari pemerintah setempat memerintahkan agar masyarakat sekitar pergi meninggalkan lereng gunung,lantas mengapa mbah Marijan tidak meninggalkan  gunung...? Karena mbah Marijan adalah abdi yang taat terhadap perintah Raja, dalam hal ini adalah Sri Sultan ke X , kesimpulan dari kematian mbah Marijan adalah mati sebagai prajurit yang taat terhadap perintah, andai kata pada waktu itu mbah Marijan meninggalkan gunung, maka akan dianggap sebagai prajurit yang meninggalakan pertempuran atau kata lain tinggal glanggang colong playu.

Aksara Jawa.



HO : Halam Husik Huwis Huwng.
Artinta : Dunia ini ada karena dikehendaki oleh Tuhan,dan Hidup serta kehidupan itu hanya sekedar melaksanakan perintah serta mejalani takdirNya.

NO :Nolo Nalar kang werdinipun.
Artinya : orang hidup itu selalu menggunakan naluri serta mengedepan kan akal.

CO : Cunduk Cancut kang werdinipun.
Artinya : Cawe-cawe sawetawis lamun manungso kuwi wispodo cocok.

RO :Ruruh raras angrarasrum kang tondone adu rerepon.
Artinya: Agar terjadi keselarasan maka haruslah selalu musyawarah untuk menemukan jalan terbaik.

KO : Kineker karekat ing bhatin kinodrat lamun tan kelakon.
Artinya : dalam diri manusia tertanam keinginan,daya upaya yang kuat dalam menuju kehidupan yang terbaik, Namun jika terjadi kegagalan, itu merupakan kehendak Tuhan.

Dho : Dalan delenging andaraung manungso iku kang dadi padon.
Artinya : Perjalanan hidup dibumi seolah tidak bertepi disebabkan oleh adanya hitam putih, baik buruk, hidup mati, kaya miskin, susah senang, siang malam, keadaan yang demikian itu menyebabkan ketidak pastian dalam menentukan sikap, sehingga yang terjadi hidup penuh dengan ketidakpastian dan kekecewaan serta perselisihan. Itulah kenyataan kehidupan didunia nyata, memang harus demikian.

Tho : Manungso urip neng alam ndonyo kudu tatak, tanggon,kalawan tekat .
Artinya : Kita hidup dibumi ini hendaknya mempunyai sikap teguh,mempunyai kekuatan, keimanan, prinsif, didorong dengan keinginan yang besar dalam menuju sebuah cita-cita mulia.

So : Suminggahing laku sisip sasarane den sasak, paetane kudu saguh.
Artinya : Terjadinya penyimpangan dalam laku para pejabat, kiai,ulama,ustad,pastur,pendeta,dande,wiku,resi,orang orang yang telah menjadi panutan,orang orang yang sudah dipercaya, disebabkan oleh kesanggupan yang tidak disertai dengan jiwa amanah sehingga terjadilah koropsi, manipulasi, tipu tipu, dalam setiap kesempatan.

Wo : Wani waspodo ing semu.
Artinya : Mempunyai keberanian, kewaspadaan, didalam menyikapi sesuatu hal yang belum pasti, maksudnya manusia itu tidak tau apa yang akan terjadi,namun senantiasa siap sedia dikala terjadi hal yang tidak di inginkan.

Lo : Manungso urip kuwi ojo demen lelamisan.
Artinya : Manusia hidup dibumi ini jangan suka mencla mencle, suka berbohong, tanamkan kejujuran didalam Diri pribadi, jika tidak maka katakan tidak, jika iya maka katakan iya.

Po : Sipating pandito ojo demen pasulayan.
Artinya : kita semuanya yang sudah mempunyai gelar, menjadi Ki ai, Guru besar, pendeta, Resi , Dande, Cendekiawan, begawan, seharusnya, sebaiknya, menghindari pertikaian,perpecahan, guna untuk menjaga kelangsungan hidup didalam damai,damai didalam Tuhan.

Do :Delek delek yen manungso kuwi wis podo gadhok.
Artinya : Perjalanan hidup manusia di bumi itu disertai berbagai masalah,jika pribadinya tidak mampu memahami jalan terbaik maka akan bertemu jalan yang mentok ( kebingungan).

Jo : Jagad gede jagad cilik manungso kuwi bakale anjok.
Artinya : Jagad raya ini dan jasad manusia semuanya akan kembali musnah sebagai mana bumi langit seisinya pada waktu itu  belum di ciptakan.simpelnya semuanya kembali kepada Tuhan.

Yo : Manungso urip kuwi ojo demen miyar miyur.
Artinya : Manusia hidup itu jagan memelihara sikap yang tidak pasti, kata lain jangan seperti air diatas daun talas.

Nyo : Manungso urip kuwi ojo demen nyeyamah marang ing liyan.
Artinya : Manusia hidup itu jagan suka meremehkan, meng olok olok orang lain.
Karena sifat yang demikian itu tidak terpuji.

Mo : Makuto, makutem, mangku teteran.
Artinya : manusia hidup itu harus bisa membedakan antara baik dan buruk, anggah ungguh, pantas dan tidak pantas, serta mampu menempatkan dirinya pada posisi yang tepat.

Go : Golong gulik saeko kapi.
Artinya : kita semuanya harus bahu membahu menciptakan kerukunan , asah asih asuh untuk membangun kekuatan, kerukunan ,kedamaian, keseimbangan dalam menuju kemakmuran.

Bo : Badan bibit bobot guno kalawan baboting badan satuhu.
Artinya : Jasad manusia itu didalamnya ada bibit dari Tuhan jika dipahami maka jasad ini akan berguna buat sesama selama ia hidup didunia sesuai dengan amanah Tuhan.

Tho : Manungso urip ojo demen cecluntangan.
Artinya : manusia hidup itu jangan suka melek,menginginkan yang bukan miliknya.

Ngo : Ngalangut Urip Iro lamun wong urip iku ora ngerti sejatineng urip.
Artinya : Manusia hidup di dunia ini jika tidak memahami dari mana dirinya berasal, untuk apa di dunia ini, dan hendak kemana setelah itu, maka dalam menjalani hidup terasa lama, seolah olah hidup tidak ada ujung nya.

Defini Manusia.



Manusia itu bisa disebut(dinyatakan manusia) jika dirinya telah memahami,menanamkan,melaksanakan, Asah, Asih, Asuh dan Roso, Budi, Karso.
Asah: adalah upaya mencerdaskan anak bangsa dengan cara memberikan pemahaman, mendidik, menanamkan akhlak, agar manusia itu mempunyai rasa tangggung jawab atas dirinya, sesama,lingkungan, budaya,agama,bangsa dan Negara, dengan didasari kesadaran individu, yang mana hidup didunia seharusnya melaksanakan hal yang bersifat amanah.
Asih :Adalah menanamkan kedalam diri, Hati sanubari, agar jiwa- jiwa yang hidup tertanam rasa kasih sayang pada sesama sehingga bangkitlah rasa tanggung jawap didalam kehidupan untuk saling menolong, membantu, baik yang bersifat material ataupun moral yang dilandasi semangat kebersamaan,persaudaraan, dengan tidak membedakan suku,agama,ras,kaya dan miskin, dalam rangka menuju NKRI sehingga tercipta sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara yang solit, dengan demikian maka di Negri ini akan terjadi kemakmuran, keadilan, pemerataan, hidup damai aman dan sentosa.

Asuh : Adalah rasa dan perasa yang menjadikan landasan dalam kehidupan didunia ini hidup merasakan adanya tanggung jawab pada sesama untuk selalu saling memberi, membina yang lemah, tertinggal dalam ilmu pengetahuan, terbelakang dalam ilmu agamanya, memupuk budaya Bangsa yang mulai terkikis oleh budaya asing, sehingga kehidupan yang mandiri akan tercipta disekitar kita tanpa adanya ketergantungan pada orang lain, Dengan demikian sinergi dalam kehidupan, keseimbangan dalam bertindak akan melekat pada karakter Bangsa ini yang mana Negara ini ber azaskan pancasila, didalamnya BHINNEKA TUNGGAL IKA.  

  1.  Bintang dilangit terdekat, mampu menyaksikan bintang bulan dan matahari dilangit terdekat.
  2. Rantai, bermunajat dan mampu merantai mengendalikan hawa nafsu.
  3. Iman, kekukuhan iman, ibarat pohon besar yang ber-akar tunggang kepusat bumi (hablulminallahi). Batangnya tempat bersandar, akarnya tempat duduku, dahan dan daunnya tempat berteduh dan buahnya pelepas dahaga (hablulminnasi).
  4. Tafakur, mampu menutup mata lahir dan membuka mata bathin.
  5. Padi dan Kapas, bahwa kehidupan dunia, terutama rumah tangga harus al sakinah (cukup, rukun), yang dilambangkan dengan padi dan kapas.

Roso : Adalah rasa pada diri yang ada sejak manusia lahir kebumi yang mana sesungguhnya pada saat itu anak manusia dalam keaadaan fitrah disebabkan oleh nafsu duniawinya belu berpungsi sehingga keseharianya hayalah pasrah kepada sang khaliq melalui pangkuan sang Ibu,  proses terus berjalan seiring dengan jalanya waktu Rasa menjadi perasa karena hidup itu ada aturan dan peraturan yang mengikat gerak dan langkah manusia agar terhindar dari belunggu nafsu duniawi semata agar perjalanan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang ada pada manusia yang menyandang perikemanusiaan, perikeadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur agama dan budaya bangsa.

Dasar memimpin.



Sebelas Asas Kepemimpinan TNI.
1.    Taqwa : Ialah beriman Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan taat kepada-Nya.
2.   Ing ngarso sung tulodo : Yaitu memberi suri teladan dihadapan anak buah.
3.   Ing madyo mangun karso : Yaitu ikut bergiat serta menggugah semangat ditengah-tengah anak buah.
4.  Tut Wuri Handayani : Yaitu Mempengaruhi dan memberi dorongan dari belakang kepada anak buah.
5.   Waspodo Purbo wiseso : Yaitu selalu waspada mengawasi,serta sanggup dan berani memberi koreksi kepada anak buah.
6.  Ambeg Paromo Arto : Yaitu dapat memilih dengan tepat mana yang harus didahulukan.
7.  Prasojo : Yaitu tingkah laku yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
8.   Setyo : Yaitu sikap loyal yang timbal balik dari atas terhadap bawahan dan bawaan terhadap atasan dan kesamping.
9.   Gemi Nastiti : Yaitu kesadaran dan kemampuan untuk membatasi penggunaan dan pengeluaran segala sesuatu kepada yang benar-benar diperlukan.
10.                      Beloko : Yaitu kemauan, kerelaan dan keberanian untuk mempertanggung jawabkan tindakan-tindakan nya.
11.                      Legowo : Yaitu kemauan, kerelaan dan keihklasan untuk pada saatnya menyerahkan tanggung jawab dan kedudukan kepada generasi berikutnya.

Rabu, 08 Mei 2013

Wejangan Nabi Khidir pada Sunan Kali.

Belajar Dari Wejangan Nabi Khiddir Pada Sunan Kalijaga

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari pengalaman hidup, baik itu pengalaman hidup pribadi maupun orang lain. Orang Jawa menyebut belajar pada pengalaman orang lain itu sebagai "kaca benggala". Nah, kini kita belajar pada pengalaman dari Kanjeng Sunan Kalijaga.



Ketika itu, Kanjeng Sunan Kalijaga yang juga dijuluki Syech Malaka berniat hendak pergi ke Mekkah. Tetapi, niatnya itu akhirnya dihadang Nabi Khidir. Nabi Khidir berpesan hendaknya Kanjeng Sunan Kalijaga mengurungkan niatnya untuk pergi ke Mekkah, sebab ada hal yang lebih penting untuk dilakukan yakni kembali ke pulau Jawa. Kalau tidak, maka penduduk pulau Jawa akan kembali kafir.

Bagaimana wejangan dari Nabi Khidir pada Kanjeng Sunan Kalijaga? Hal itu tercetus lewat Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Inilah kutipan wejangannya:

Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki

Timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.

Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.

Ada pun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya

Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami

Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku

Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya Allah ana nireki.

Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu

Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi

Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.

Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.

Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati hidup

Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya (S.Kalijaga) den padhang sira nampani,
Wahyu prapta nugraha.

mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.

Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut "mati sajroning ngahurip" dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Bela Negara.

Susuhunan Kalijaga berada dalam persimpangan. Sang Pembesar Negara bagaikan makan buah simalakama: Sabaya Pati Sabaya Mukti Labuh Negara berdirinya Demak Bintoro ataukah mikul dhuwur mendhem jero leluhurnya Majapahit. Mangro tingal Kanjeng Susuhunan, meski batinnya memihak Eyangnya, Sang Prabu Brawijaya, sebagai pendiri Negara dan Panglima ia wajib mewujudkan cita-cita Negara, sebuah tatanan baru yang membawa pencerahan bagi leluhurnya yang kapir-kopar.

Konon dari vested interest tersebut terciptalah tokoh baru dalam pewayangan, Kenya Wandu dan Buta Cakil. Kenya Wandu, sosok lelaki berpenampilan perempuan sebuah penggambaran diri Sunan Kalijaga, ambiguitas selaiknya si Buta Cakil raksasa berpenampilan ksatria. Dengan rahang bawah yang menonjol keluar dihiasi gigi panjang tajam, si Cakil bersuara kecil kalau ngomong nyerocos tanpa jeda adalah symbol ahli dakwah yang tiada duanya, tiada yang mampu menandingi dalam berdebat.
Kemunculan Cakil dalam pewayangan tercerita dalam adegan Perang Begal, atau yang lebih dikenal sebagai Perang Kembang. Perangnya ksatria melawan para raksasa setelah adegan gara-gara. Perang Kembang sejatinya tamsil kehidupan manusia.
Setelah mengalami gara-gara, chaos, manusia butuh keseimbangan, aktualisasi diri. Dipenuhi idealisme yang menggebu-gebu tergambar sebagai empat punggawa raksasa pengikut Cakil, symbol 4 elemen dalam dirinya. Bumi, Geni, Angin, Banyu atau dalam terminology Islam Aluamah, Supiyah, Amarah, Mutmainah. Idealism yang mengebu-gebu ini, yang membawa manusia terbang keawang-awang harus dibumikan kembali
Disesuaikan dengan keadaan & kondisi riil yang dihadapi agar taktik tidak merusak strategi.
Cakil selalu mati karena tertusuk kerisnya sendiri  Muncul sebagai perlambang kebutuhan Manusia akan watak. Watak adalah keberpihakan pada suatu kepentingan, dimana Ideologi menjadi motor yang bergerak dalam jiwa tanpa henti dengan konsekwen untuk membela kepentingan. Watak tercermin dalam sikap, bermuara pada seluruh aktivitas gerak hidup manusia. Watak inilah yang menjiwai dan memberi visi pada gerak hidup manusia. Watak menghindarkan dari vested interest, sikap yang plin-plan atau mencla-mencle.
Cakil juga punya pandherek. Pandhereknya malah tidak kalah dengan pandhereknya Arjuna. Yaitu Togog, yang seasal-usul dengan Semar dan Bethara Guru. Ini juga sebuah simbolisme, dalam aktualisasi diri manusia watak manusia bisa bermutasi sesuai dengan fatsun status sosial menentukan watak sosial. Maka menjadi sebuah pertanyaan ultim bagi setiap manusia yang memperjuangkan idealismenya, akankah dia bermutasi atau tetap setia pada idealismenya? Diemong oleh Semar atau menjadi diemong oleh Togog?
Geni sakpelik munggah krapak, sabda Sang Susuhunan Kalijaga. Ya api yang kecil itu telah menjalar, dan akan membakar semuanya. Bakar! Bongkar!!!

SUNAN KALI.

Sunan Kalijaga adalah ulama yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Beliau adalah legenda nyata dari tumbuh dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Sayangnya, namanya sering dikaitkan dengan mistisme Jawa alias Kejawen. Benarkan ‘Kejawenisme’ merupakan buah pemikiran Sunan Kalijaga? Siapakah  Sunan Kalijaga? Dari mana nama ‘Kalijaga’ berasal? Mari kita bangun perspektif yang benar tentang sosok ini.
Ada beragam versi tentang nama asli Kalijaga. Sejumlah sumber mengatakan bahwa nama asli Sunan Kalijaga ialah ‘Lokajaya’. Sumber lain ada yang menyebut bahwa nama aslinya ‘Raden Abdurrahman’ atau ada juga yang mengatakan bahwa namanya ialah ‘Raden Joko Said’ atau ‘Raden Jaka Syahid’. Pendapat yang terakhir merupakan riwayat yang paling mashyur. Nama Raden Joko Said ialah nama yang dikenal secara turun-temurun oleh para penduduk Tuban hingga masa kini.
Joko Said dilahirkan sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban. Arya Wilatikta ini adalah keturunan dari pemberontak legendaris Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan bahwa Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam sejak sebelum lahirnya Joko Said. Namun sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sangat taklid kepada pemerintahan pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia menetapkan pajak tinggi kepada rakyat.
Joko Said muda yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya sebagai Adipati sering membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya. Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.
Karena tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’ untuk mengadili Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, karena alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.
Riwayat masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah. Dari hasil rampokannya itu, sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur tentang beliau. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang ulama beken, Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil- sehingga Joko Said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok. Joko Said kemudian berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Dari mana nama ‘Kalijaga’ muncul?
Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya, seperti gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena beliau tinggal di kaki Gunung Jati.
Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa umumnya dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama Cirebon yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena banyaknya kalong (Kelelawar). Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu justru muncul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.
Riwayat lain datang dari kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen lainnya menyebut nama ini muncul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun. Pendapat yang terakhir ini yang paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham dengan kedua pendapat ini.
Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan kata benda di depan kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku sebagai subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga bila ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali yang menjaga sesuatu’. Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal.
Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau karena beliau pernah menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun non-stop (seperti dalam film), maka seharusnya namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”.
Kemudian secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang hari? Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan Syi’ar-nya, tentu ada banyak hal berguna yang dapat beliau lakukan. Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat saya, kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pendapat yang paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun 1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak saat itu, Sunan Giri.
Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.
Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik
Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut. Logikanya ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau Jawa karena pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa. Fakta menunjukan bahwa makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan di Pajang atau di kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya); tempat-tempat di mana Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih berdiri.
Riwayat-riwayat yang batil banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan Kalijaga; selain kisah pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah aneh itu antara lain, bahwa beliau bisa terbang, bisa menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak dan kisah-kisah lain yang bila kita pikirkan dengan akal sehat nan intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia. Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya oleh orang gila yang gemar sihir.
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan Kalijaga adalah perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas merupakan tempat peribadatan Islam.
Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi; bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.
Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau menerimanya. Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram hukumnya.
Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap. Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.) beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.
   1. Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang ‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri; Sahih Bukhari)
   2. Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
   3. Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
   4. Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
   5. Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.
Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat dalam kalbu dan dinilai sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu sebagai metode semata, metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya. Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah Saw yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.
Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun memiliki nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar ibn Khattab ra. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang membutuhkannya. Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli Kejawen.

Lelaku Sunan Kalijaga Lewat Bima Suci


Jalan untuk mendekat pada GUSTI ALLAH disebut dengan Suluk. Sementara manusia yang mencari jalan untuk mendekat pada GUSTI ALLAH disebut dengan Salik. Kerinduan akan dekatnya diri dengan GUSTI ALLAH ini menjadikan seseorang mulai mencari asal mula dirinya dan bakal ia bawa kemana hidupnya ini.

Hal itulah yang juga pernah terjadi pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Beliau mencari sesuatu yang hakiki dari hidup ini. Dan hal itu telah ditemukannya. Namun beliau tidak semata-mata ingin membuka pengalaman spiritual beliau tersebut secara gamblang. Sunan Kalijaga cenderung lebih memilih untuk menyamarkan pengalaman spiritualnya lewat kisah pewayangan dengan lakon Dewaruci atau kadangkala orang menyebutnya lakon wayang Bima suci.

Dalam lakon Dewaruci tersebut, mengisahkan tentang petualangan Bima dalam mencari tirta pawitra atau ‘Sangkan Paraning Dumadi’. Proses pencarian jati diri yang akhirnya menemukan ‘Sangkan Paraning Dumadi’ tersebut di kalangan umat Islam sesuai dengan Hadist Kanjeng Nabi Muhammad yang berbunyi “Man arafa nafsahu faqad rabbahu” yang artinya, ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia mengenal Tuhannya’.

Bagian cerita Dewaruci menceritakan bahwa Bima berserah diri pada gurunya. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali pada Pendeta Durna. Air suci yang diperintahkan Pendeta Durna untuk mencarinya tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”.

Ia segera berangkat ke tengah samudra. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada gurunya. Berangkatlah Bima ke tepi lautan. Tanpa ragu-ragu iapun melangkah ke tengah laut karena meyakini apa yang dicarinya ada di tengah samudra.

Ketika berada di tengah samudra itulah, Bima bertemu dengan Dewaruci yang bertubuh kecil. Sang Dewaruci menegur Bima,”Hai Bima, apa yang kau cari di tengah samudra ini?” Bima pun menjawab dengan sigap bahwa dirinya mencari tirta pawitra seperti diperintahkan gurunya, Begawan Durna. Dewaruci memperingatkan Bima bahwa apa yang dicarinya tidak ada di tengah samudra. Tetapi Bima tetap ngotot ingin mencari.

Singkat cerita, lantaran tekad Bima yang sangat besar itu, Dewaruci memerintahkan pada Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci yang kecil. Seketika Bima pun tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana aku yang bertubuh besar bisa masuk ke dalam badanmu yang kecil? Itu jelas tidak mungkin,” kata Bima. Tetapi Dewaruci pun menjawab,”Hai Bima, besar mana tubuhmu dengan alam semesta ini?” Bima menjawab,” Jelas lebih besar alam semesta ini.” “Lha alam semesta yang katamu besar ini saja bisa masuk ke dalam tubuhku, mengapa kamu tidak bisa masuk? Kamu pasti bisa masuk,” tegas Dewaruci sembari memerintahkan Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci melalui ‘telinga kiri’ sang Dewaruci.

Setelah masuk badan Dewaruci, Bima merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang tak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Bima tidak tahu lagi mana arah barat dan timur, selatan dan utara. Semuanya serba membingungkan. Tiba-tiba ia melihat cahaya. Cahaya yang dilihat Bima beraneka macam warna. Beraneka macam warna cahaya itu dikalangan orang-orang yang lelaku disebut Pancamaya.

Bima melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Warna-warna itu melambangkan aneka nafsu yang merupakan penghalang cipta, rasa dan karsa untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH. Nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH.

Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.

Setelah itu warna-warna yang dilihat Bima itupun hilang dan berganti dengan 8 warna. Siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.

Setelah itu, Bima melihat benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibatasi oleh jasad. Seusai semuanya, Bima tidak lagi merasakan apa-apa. Ia merasakan dirinya sudah tidak ada dan lenyap bersama dengan KeberadaanNYA. Bima tak merasakan khawatir, tidak ingin makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat semata. Hal ini menyebabkan Bima betah berlama-lama di tempat dan kondisi tersebut .

Pencarian Bima Suci itupun akhirnya berakhir dengan kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan dan ketentraman dalam hidup dan hidup serasa diayomi dan dilindungi itu yang kita cari? Untuk itu, tidak ada salahnya jika kini Anda mulai menjadi seorang salik yang mencari suluk sejati seperti halnya laku Sunan Kalijaga yang disamarkan lewat kisah Bima Suci atau Dewaruci.

Kamis, 18 April 2013

Aksara Jawa.



HO : Halam Husik Huwis Huwng.
Artinta : Dunia ini ada karena dikehendaki oleh Tuhan,dan Hidup serta kehidupan itu hanya sekedar melaksanakan perintah serta mejalani takdirNya.

NO :Nolo Nalar kang werdinipun.
Artinya : orang hidup itu selalu menggunakan naluri serta mengedepan kan akal.

CO : Cunduk Cancut kang werdinipun.
Artinya : Cawe-cawe sawetawis lamun manungso kuwi wispodo cocok.

RO :Ruruh raras angrarasrum kang tondone adu rerepon.
Artinya: Agar terjadi keselarasan maka haruslah selalu musyawarah untuk menemukan jalan terbaik.

KO : Kineker karekat ing bhatin kinodrat lamun tan kelakon.
Artinya : dalam diri manusia tertanam keinginan,daya upaya yang kuat dalam menuju kehidupan yang terbaik, Namun jika terjadi kegagalan, itu merupakan kehendak Tuhan.

Dho : Dalan delenging andaraung manungso iku kang dadi padon.
Artinya : Perjalanan hidup dibumi seolah tidak bertepi disebabkan oleh adanya hitam putih, baik buruk, hidup mati, kaya miskin, susah senang, siang malam, keadaan yang demikian itu menyebabkan ketidak pastian dalam menentukan sikap, sehingga yang terjadi hidup penuh dengan ketidakpastian dan kekecewaan serta perselisihan. Itulah kenyataan kehidupan didunia nyata, memang harus demikian.

Tho : Manungso urip neng alam ndonyo kudu tatak, tanggon,kalawan tekat .
Artinya : Kita hidup dibumi ini hendaknya mempunyai sikap teguh,mempunyai kekuatan, keimanan, prinsif, didorong dengan keinginan yang besar dalam menuju sebuah cita-cita mulia.

So : Suminggahing laku sisip sasarane den sasak, paetane kudu saguh.
Artinya : Terjadinya penyimpangan dalam laku para pejabat, kiai,ulama,ustad,pastur,pendeta,dande,wiku,resi,orang orang yang telah menjadi panutan,orang orang yang sudah dipercaya, disebabkan oleh kesanggupan yang tidak disertai dengan jiwa amanah sehingga terjadilah koropsi, manipulasi, tipu tipu, dalam setiap kesempatan.

Wo : Wani waspodo ing semu.
Artinya : Mempunyai keberanian, kewaspadaan, didalam menyikapi sesuatu hal yang belum pasti, maksudnya manusia itu tidak tau apa yang akan terjadi,namun senantiasa siap sedia dikala terjadi hal yang tidak di inginkan.

Lo : Manungso urip kuwi ojo demen lelamisan.
Artinya : Manusia hidup dibumi ini jangan suka mencla mencle, suka berbohong, tanamkan kejujuran didalam Diri pribadi, jika tidak maka katakan tidak, jika iya maka katakan iya.

Po : Sipating pandito ojo demen pasulayan.
Artinya : kita semuanya yang sudah mempunyai gelar, menjadi Ki ai, Guru besar, pendeta, Resi , Dande, Cendekiawan, begawan, seharusnya, sebaiknya, menghindari pertikaian,perpecahan, guna untuk menjaga kelangsungan hidup didalam damai,damai didalam Tuhan.

Do :Delek delek yen manungso kuwi wis podo gadhok.
Artinya : Perjalanan hidup manusia di bumi itu disertai berbagai masalah,jika pribadinya tidak mampu memahami jalan terbaik maka akan bertemu jalan yang mentok ( kebingungan).

Jo : Jagad gede jagad cilik manungso kuwi bakale anjok.
Artinya : Jagad raya ini dan jasad manusia semuanya akan kembali musnah sebagai mana bumi langit seisinya pada waktu itu  belum di ciptakan.simpelnya semuanya kembali kepada Tuhan.

Yo : Manungso urip kuwi ojo demen miyar miyur.
Artinya : Manusia hidup itu jagan memelihara sikap yang tidak pasti, kata lain jangan seperti air diatas daun talas.

Nyo : Manungso urip kuwi ojo demen nyeyamah marang ing liyan.
Artinya : Manusia hidup itu jagan suka meremehkan, meng olok olok orang lain.
Karena sifat yang demikian itu tidak terpuji.

Mo : Makuto, makutem, mangku teteran.
Artinya : manusia hidup itu harus bisa membedakan antara baik dan buruk, anggah ungguh, pantas dan tidak pantas, serta mampu menempatkan dirinya pada posisi yang tepat.

Go : Golong gulik saeko kapi.
Artinya : kita semuanya harus bahu membahu menciptakan kerukunan , asah asih asuh untuk membangun kekuatan, kerukunan ,kedamaian, keseimbangan dalam menuju kemakmuran.

Bo : Badan bibit bobot guno kalawan baboting badan satuhu.
Artinya : Jasad manusia itu didalamnya ada bibit dari Tuhan jika dipahami maka jasad ini akan berguna buat sesama selama ia hidup didunia sesuai dengan amanah Tuhan.

Tho : Manungso urip ojo demen cecluntangan.
Artinya : manusia hidup itu jangan suka melek,menginginkan yang bukan miliknya.

Ngo : Ngalangut Urip Iro lamun wong urip iku ora ngerti sejatineng urip.
Artinya : Manusia hidup di dunia ini jika tidak memahami dari mana dirinya berasal, untuk apa di dunia ini, dan hendak kemana setelah itu, maka dalam menjalani hidup terasa lama, seolah olah hidup tidak ada ujung nya.

Kamis, 28 Maret 2013

Manusia dinilai dari takwanya.

Salah satu perintah Allah swt. yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. adalah agar kita, orang-orang mukmin, berusaha mencapai tingkat/derajat taqwa. Taqwa kepada Allah swt. begitu penting, karena dengan taqwa ini, seseorang mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt. Taqwa adalah buah dari pohon ibadah. Ia merupakan tujuan utama dari setiap perintah ibadah kepada Allah swt. Perintah berpuasa misalnya bertujuan untuk meningkatkan derajat ketakwaan bagi orang-orang beriman. Taqwa yang sesungguhnya hanya diperoleh dengan cara berupaya secara maksimal melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangannya. Ketaatan ini adalah ketaatan yang tulus, tidak dicampuri oleh riya atau pamrih.

jum'at

Para hadirin yang berbahagia.
Pada hakekatnya tak ada penyejuk yang benar-benar menyegarkan, dan tak ada obat yang paling mujarab selain taqwa kepada Allah.
Hanya taqwa kepadaNyalah satu-satunya jalan keluar dari berbagai problem kehidupan, yang mendatangkan keberkahan hidup, serta menyelamatkan dari adzabNya di dunia maupun di akhirat nanti, karena taqwa jualah seseorang akan mewarisi Surga Allah Subhannahu wa Ta'ala.
Saudara-saudara yang berbahagia.
Pengertian taqwa itu sendiri mengandung makna yang bervariasi di kalangan ulama. Namun semuanya bermuara kepada satu pengertian yaitu seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dari adzabNya, hal ini dapat terwujud dengan melaksanakan apa yang di perintahkan-Nya dan menjauhi apa yang di larang-Nya.
Para hadirin yang berbahagia
Bila kata taqwa disandarkan kepada Allah maka artinya takutlah kepada kemurkaanNya, dan ini merupakan perkara yang besar yang mesti ditakuti oleh setiap hamba. Imam Ahmad bin Hambal Radhiallaahu anhu berkata, “Taqwa adalah meninggalkan apa-apa yang dimaui oleh hawa nafsumu, karena engkau takut (kepada Dzat yang engkau takuti)”. Lebih lanjut ia mengatakan, “Takut kepada Allah, ridha dengan ketentuanNya dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kiamat nanti.”

d o 4

"Tidak ada Tuhan yang disembah melainkan Allah, Allah itu Maha besar. Tidak ada Tuhan melainkan Allah sendiri-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada Tuhan melainkan Allah, bagi-Nyalah pemerintahan dan kerajaan, dan bagi-Nyalah segala puJi, Tidak ada Tuhan melainkan Allah. Tidak ada daya upaya dan tidak ada tenaga kekuatan melainkan dengan Allah. "

Do'a

"Wahai Allah, wahai Dzat Yang Maha Kaya, wahai Dzat Yang Maha Terpuji, wahai Dzat Yang memulai, wahai Dzat Yang Mengembalikan, wahai Dzat Yang Maha Penyayang, wahai Dzat Yang Maha Mencintai. Cukupilah kami dengan kehalalan-Mu dari keharaman-Mu. Cukupilah kami dengan anugerah-Mu dari selain Engkau. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad Saw. keluarga dan sahabat beliau."

do'a

"Wahai Allah limpahkanlah rahmat atas junjungan kita Nabi Muhammad Saw; sebanyak aneka rupa rizqi. Wahai Dzat Yang Maha Meluaskan rizqi kepada orang yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. Luaskan dan banyakanlah rizqiku dari segenap setiap penjuru dan perbendaharaan rizqi-Mu tanpa pemberian dari makhluk, berkat kemurahan-Mu jua. Dan limpahkanlah pula rahmat dan salam atas dan para sahabat beliau. "

penutup do'a

Allahummagh fir lilmuslimiina wal muslimaati, wal mu’miniina wal mu’minaatil ahyaa’I minhum wal amwaati, innaka samii’un qoriibun muhiibud da’waati.
Robbanaa laa tuaakhidznaa in nasiinaa aw akhtho’naa. Robbanaa walaa tahmil ‘alaynaa ishron kamaa halamtahuu ‘alalladziina min qoblinaa.Robbana walaa tuhammilnaa maa laa thooqotalanaa bihi, wa’fua ‘annaa wagh fir lanaa war hamnaa anta maw laanaa fanshurnaa ‘alal qowmil kaafiriina.
Robbana ‘aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil aakhiroti hasanah wa qinaa ‘adzaabannaar. Walhamdulillaahi robbil ‘aalamiin.

Kamis, 28 Februari 2013

Manusia dalam keadaan tertidur lelap karena terbuai oleh rayuan nafsu diniawi sehingga sukses adalah tujuan utama dalam kehidupanya, sedangkan dunia ini sifatnya sementara akhir muara perjalanan umat adalah kembali kepada Sang Khaliq yaitu Allah subbekhanahuwata'ala, Kini sebagian besar umat dibumi terbuai oleh gemerlapnya duniawi semata disebabkan dirnya telah dikuasai nafsu kebendaan yang menjadikan buta hati dan gelapnya jiwa tak heran jika saat ini pejabat Negri terjebak oleh kasus koropsi,Bahkan sikap buruk itu telah mendarah daging dalam lingkungan para punggawa Negri tercinta, itulah yang sebenarnya terjadi saat ini, mengapa demikian....? Ajaran pengenalan Diri sejati sebelum menegenal Tuhan kini telah sirna dari permukaan bumi, padahal jika ajaran itu diserap pada setiap umat akan menghantarkan Negri ini ketempat yang terpuji, bermatabat, berdaulat, bersatu, dan akan mengalir pada diri sifat yang adil,arif bijaksana serta demokratis sehingga bangkitlah kemakmuran yang merata didalam Negri yang subur dan kaya raya.

Sabtu, 09 Februari 2013

SEPENGGAL KISAH TANAH JAWA.

Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.

Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.

Mengingat kalau dulunya anak benua India dan Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran kalau ada budayanya yang hampir sama, atau mudah saling menerima pengaruh. Juga perkembagan agama di wilayah ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama.



Versi mistis :
    Pulau terbesar dengan penduduknya paling banyak di seluruh Indonedia ini, tidak menyangka, kalau dahulunya adalah pulau terkecil dan terpecah-belah oleh persilangan laut antara utara dan selatan.

Kisah dipersatukannya seluruh pulau yang terdapat di berbagai pulau Jawa, akibat dari kesaktian yang dimiliki oleh Brahmana Agung bernama Shang Hyang Dewa. Konon dengan kesaktian beliau, pulau itu ditarik satu persatu menjadi pulau terbesar dan dinamakan Bumi Ing Jowo Dwipo.

Semasa pulau ini belum terjamaah oleh manusia, para siluman dari bangsa seleman dan togog telah lebih dulu menduduki hingga ribuan tahun lamanya. Masa itu pulau Jawa disebut dengan nama Mokso Seleman (zaman para lelembut).Namun setelah keturunan dari Shang Hyang Nurasa menduduki bumi Jawa (Shang Hyang Dewa) pulau itu disebut dengan nama bumi pengurip (bumi yang dihidupkan). Shang Hyang Dewa akhirnya moksa di puncak Gunung Tidar, setelah beliau menyatukan berbagai bangsa lelembut untuk menuju jalan Adil (kebenaran), dan dari keturunannya.

Terlahir pula para Shanghyang Agung, seperti Shanghyang Citra Suma, Shanghyang Dinata Dewa, Shanghyang Panca Dria, yang akhirnya dari merekalah sebuah titisan atau wasilah turun-temurun menjadi kerajaan teragung yang absolut.

Baru diabad ke 12, pulau Jawa diperluas dengan tiga aliran yang berbeda, yaitu dengan adanya ajaran Hindu, mokso Jawi dan Islam. Akhir dari ketiga aliran tersebut nantinya menjadi suatu perlambang dari perwatakan penduduk pulau Jawa hingga sekarang ini.

Dalam perluasan arti ketiga diatas, mencerminkan sebuah kehidupan bermasyarakat gemah ripah loh jinawi. Konon ajaran ini hanya ada dipulau Jawa dan seterusnya menyebar ke seluruh pelosok yang ada di Indonesia, seperti ajaran Hindu misalnya, ilmu yang diajarkan oleh para Shanghyang Dewa, ilmu, sebagai aji rasa manunggaling agung.

Lewat bait sansekerta Yunani yang mengupas di dalamnya, kebenaran, keadilan, kejujuran dan memahami sifat alam. Ilmu ini akhirnya diturunkan oleh bapaknya para dewa. Raden Nurasa kepada Nabiyullah Khidir a.s. dan dizaman Wali Songo nanti, ilmu ini dipegang dan menjadi lambang dari sifat kependudukan masyarakat Jawa oleh tiga tokoh Waliyullah, yaitu Sunan Kalijaga, Mbah Cakra Buana dan Khanjeng Syekh Siti Jenar.

Moksa jawi sendiri, sebuah ilmu yang mengupas tentang kedigdayaan ilmu yang bersumber dari raja lelembut, bernama raja lautan. Ini sangat berperan dan menjadi salah satu perwatakan masyarakat Jawa. Konon ajaran yang tergabung di dalamnya mengajarkan arti tirakat, mencegah hawa nafsu dan memahami makna rohani, simbol dari ajaran ilmu ini digambarkan sebagai bentuk keris.

Keris menjadi suatu perlambang dari ajaran orang Jawa, bermula dari seorang Empu, bernama Ki Supo Mandragini. Beliau salah satu santri dari Khanjeng Sunan Ampel Denta yang diberi tugas untuk membuat sebilah keris. Namun rupanya, pemahaman dari sang guru dan murid ini saling berseberangan, disisi lain Sunan Ampel menginginkan sebuah pusaka berupa sebilah pedang sebagai perlambang dari makna Islam. Namun ketidaktahuan Ki Supo Mandragini sendiri, akhirnya beliau membuat sebilah keris berluk 9.

Keris tersebut menjadi penengah antara ajaran Islam dan Hindu bagi orang Jawa, dengan sebutan Islam Kejawen, dan keris pembuatan Ki Supo diberi nama Kyai Sengkelat. Dari kedua aliaran diatas, Islam telah ada di pulau Jawa sejak abad ke 9. Ajaran ini dibawa dari kota Misri oleh seorang Waliyullah Kamil Syekh Sanusi dan muridnya Muhammaad Al Bakhry, dan baru masyhur tentang ajaran Islam di pulau Jawa pada abad 13 dan 14 atau zamannya para Wali Songo.

Pembedaran lain dari keunikan yang terdapat di pulau Jawa pada masa itu, 300 tahun sebelum Wali Songo mendudukinya, para Shanghyang maupun bangsa lelembut seleman telah mengetahui lewat sasmita gaib yang mereka terima, bahwa sebentar lagi pulau Jawa akan dibanjiri para pemimpin makhluk dari berbagai negara.

Mereka dari seluruh alam berkumpul, berdiskusi di puncak Gunung Ciremai, pada masa itu mereka mufakat untuk mengabdi dan membantu, apabila para Waliyullah telah menduduki pulau Jawa. Namun tentunya tidak semua dari mereka setuju, sehingga perpecahan dari dua kubu yang berseberang jalan itu dinamakan Getas Kinatas (terpecahnya satu keluarga atau satu keturunan).

Nanti pada akhirnya tiba, dari Shanghyang Rowis Renggo Jenggala, akan menurunkan beberapa keturunan Saktineng Paku Jawa (orang-orang sakti yang menjdi penguasa pulau Jawa) diantaranya:

- "Arya Bengah" yang menurunkan para putera Majapahit dan keturunannya sampai putera Mataram.

- "Ciung Wanara" yang menurunkan Lutung Kasarung hingga sampai ke silsilah Prabu Agung Galuh atau yang dikenal dengan nama Prabu Munding Wangi atau Prabu Siliwangi.

- "Nyi Mas Ratu Ayu Maharaja Sakti" menurunkan beberapa keturunan berbagai alam diantaranya "Ratu Palaga Inggris, seorang puteri cantik dari bangsa manusia, yang akhirnya dikawin oleh Prabu Siliwangi.

- "Kerta Jasa" maharaja sakti.

- "Sang Kowelan" salah satu anak dari Ratu Palaga Inggris yang berjenis bangsa lelembut, dari beliau pula ucuk umun dan Ratu Kidul dihasilkan.

- Dari "Syekh Sanusi" melahirkan ratusan Waliyullah kondang, diantaranya para Wali Irak, Yaman, Mesir, Turky, dan para Wali Jawa.

Untuk yang berseberangan atau getas kinatas, sebagian dari mereka memilih ngahyang (raib) dan tak pernah muncul lagi dipermukaan bumi dan sebagian lagi mereka mengabdi dengan lewat menjaga semua alam di pulau Jawa.

Diantara yang mengabdi adalah :

- Sih Pohaci, beliau menjaga awan dan langit.
- Sih Parjampi, beliau selalu menjaga bumi dan bertempat pada lapisan bumi nomor dua.
- Sang Sontog, menjaga semua gunung pulau jawa.
- Sang Waluhun, menjaga pantai utara dan selatan.
- Sih Walakat, menjaga seluruh hutan dan pepohonan.
- Sangkala Brahma, menjaga bumi Cirebon.
- Sangkala Wisesa, menjaga bumi Mataram.
- Janggala Putih, menjaga bumi Bogor.
- Sang Lenggang Lumenggang Gajah, menjaga bumi Jakarta.
- Sang Seda Hening, menjaga bumi Banten.