Sunan Kalijaga
adalah ulama yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Beliau
adalah legenda nyata dari tumbuh dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa.
Sayangnya, namanya sering dikaitkan dengan mistisme Jawa alias Kejawen.
Benarkan ‘Kejawenisme’ merupakan buah pemikiran Sunan Kalijaga?
Siapakah Sunan Kalijaga? Dari mana nama ‘Kalijaga’ berasal? Mari kita bangun perspektif yang benar tentang sosok ini.
Ada beragam versi tentang nama asli
Kalijaga. Sejumlah sumber mengatakan bahwa nama asli Sunan Kalijaga
ialah ‘Lokajaya’. Sumber lain ada yang menyebut bahwa nama aslinya
‘Raden Abdurrahman’ atau ada juga yang mengatakan bahwa namanya ialah
‘Raden Joko Said’ atau ‘Raden Jaka Syahid’. Pendapat yang terakhir
merupakan riwayat yang paling mashyur. Nama Raden Joko Said ialah nama
yang dikenal secara turun-temurun oleh para penduduk Tuban hingga masa
kini.
Joko Said dilahirkan sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya
Wilatikta, Adipati Tuban. Arya Wilatikta ini adalah keturunan dari
pemberontak legendaris Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan
bahwa Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam sejak sebelum lahirnya
Joko Said. Namun sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sangat taklid
kepada pemerintahan pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia
menetapkan pajak tinggi kepada rakyat.
Joko Said muda yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya sebagai
Adipati sering membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya.
Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia
membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung
kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat
kemarau panjang.
Karena tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’ untuk
mengadili Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu
tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa,
karena alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk
menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam
kemiskinan dan kelaparan. Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini
karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah agama.
Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten
seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu
menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Maksud
dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia sudah memiliki
banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.
Riwayat masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana
kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan
ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu
‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang
tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah. Dari hasil rampokannya itu,
sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini
mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat
masyhur tentang beliau. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia
diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang
ulama beken, Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan
Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak
dapat diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat
dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil- sehingga Joko Said alias
Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok. Joko Said kemudian
berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama dengan
gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Dari mana nama ‘Kalijaga’ muncul?
Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara
para pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat
bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga
memang pernah tinggal di Cirebon dan
bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Ini dihubungkan dengan
kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya,
seperti gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena
beliau tinggal di kaki Gunung Jati.
Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun
Kalijaga sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa
umumnya dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu.
Misalnya nama Cirebon yang disebabkan
banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena banyaknya kalong
(Kelelawar). Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu justru muncul setelah
Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu, klaim
Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.
Riwayat lain datang dari kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka
mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali)
sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen
lainnya menyebut nama ini muncul karena Joko Said pernah disuruh bertapa
di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun. Pendapat yang
terakhir ini yang paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam
film ‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri
kurang sepaham dengan kedua pendapat ini.
Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan
Jawa) dan segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan kata benda
di depan kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku
sebagai subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya.
Sehingga bila ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah
kali yang menjaga sesuatu’. Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk
akal.
Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di
kali atau karena beliau pernah menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun
non-stop (seperti dalam film), maka seharusnya namanya ialah “Sunan
Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”.
Kemudian secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah
seorang da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai
sepanjang hari? Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan
Syi’ar-nya, tentu ada banyak hal berguna yang dapat beliau lakukan.
Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di
pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk akal. Bagaimana
bisa seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan
shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat
saya, kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pendapat yang paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’
berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’,
jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said).
Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun
1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali
Demak saat itu, Sunan Giri.
Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan
kata-kata Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’),
Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari
Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah
lainnya. Maka tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan
menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.
Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti
bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan
Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di
Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam
Negara Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga
sebenarnya; ia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik
Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur
mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih
dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan
Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan
Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan
Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut
nama beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat
beliau bermukim di dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan
Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati,
namanya tak lagi disebut-sebut. Logikanya ialah, bila saat itu beliau
masih hidup, tentu beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau
Jawa karena pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa. Fakta
menunjukan bahwa makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan di
Pajang atau di kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya); tempat-tempat di mana Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih berdiri.
Riwayat-riwayat yang batil banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang
Sunan Kalijaga; selain kisah pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai.
Beberapa kisah aneh itu antara lain, bahwa beliau bisa terbang, bisa
menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng
Selo di dalam Masjid Demak dan kisah-kisah lain yang bila kita pikirkan
dengan akal sehat nan intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak
manusia. Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya oleh orang gila
yang gemar sihir.
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta
Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah
dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan
Kalijaga adalah perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid
Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari
tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana
mungkin seorang kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang
jelas-jelas merupakan tempat peribadatan Islam.
Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi; bukan sufi-panteistik ala
Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti
dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat
terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan
ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.
Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga
dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun
beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih
bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau
menerimanya. Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia
secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak
terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa
menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam
adalah haram hukumnya.
Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian
keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit
dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan
pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua
kalimah syahadat. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati
secara bertahap. Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya
berkembang dalam segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan
Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya
kebiasaan lama hilang.
Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya
bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau
tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.) beliau
menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon
Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat.
Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan
karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter
Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah
karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.
1. Istilah ‘Dalang’ berasal
dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini,
seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang ‘menunjukkan kebenaran kepada
para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa
menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan kepada orang lain, pahalanya
sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri; Sahih Bukhari)
2. Karakter ‘Semar’ diambil
dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang
Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh bagai paku yang tertancap,
Simaaruddunyaa.
3. Karakter ‘Petruk’ diambil
dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya,
seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah,
Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
4. Karakter ‘Gareng’ diambil
dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘teman’. Maksudnya, seorang
Muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya untuk diajak ke
arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
5. Karakter ‘Bagong’ diambil
dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang
Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.
Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg
maulud, serta seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana
dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat
dalam kalbu dan dinilai sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua
itu sebagai metode semata, metode dakwah yang sangat efektif pada
zamannya. Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah Saw yang
mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang
efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar